B. Pengaturan Terorisme Menurut Hukum Positif
Indonesia
Dalam Perpu no 1 Tahun 2002 yang telah disahkan
menjadi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme yang dijadikan sebagai dasar hukum dalam pemberantasan tindak pidana
terorisme di Indonesia, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana
terorisme sebagai berikut : tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan
yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan Undang-undang
ini (Pasal 1 ayat (1)) .
Pasal 1 ayat (1) dalam Undang-Undang No 15 Tahun
2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme tersebut, rumusannya sama
dengan yang ada dalam draft rancangan UU tentang Tindak Pidana Terorisme .
Sedangkan yang termasuk unsur-unsur terorisme
adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara sistematis dengan maksud
untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara dengan membahayakan bagi
kedaulatan bangsa dan negara yang dilakukan dengan menggunakan kekerasan atau
ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang
secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara
merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain , atau
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang
startegis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional.[1]
Kekerasan yang dilakukan oleh kelompok teroris,
merupakan tindak pidana terorisme. Tindak pidana terorisme tersebut di atas
terdapat dalam rumusan Pasal 6 dan 7 UU No 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme.
Dapat disimpulkan , bahwa suatu kelompok dapat
dikatakan sebagai kelompok teroris apabila memenuhi unsur-unsur[2] :
- Mengeksploitasi kelemahan manusia secara sistematik, yaitu kengerian atau ketakutan yang melumpuhkan.
- Adanya penggunaan ancaman atau penggunaan kekerasan fisik;
- Adanya tujuan politik yang ingin dicapai;
- Adanya sasaran yang umumnya masyarakat sipil;dan
- Dilakukannya perencanaan dan persiapan secara rasional
Tindak pidana terorisme yang dirumuskan dalam
pasal 6 UU no 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme ,
dapat dikualifikasikan kedalam delik materil
, sedangkan yang mengenai delik formil
tindak pidana terorisme terdapat dalam Pasal 7 sampai dengan pasal 12 UU no 15
tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme
Perbuatan yang dilarang dan dikategorikan sebagai
kegiatan terorisme adalah bermaksud untuk melakukan perbuatan yang menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan di mana perbuatan tersebut dapat menimbulkan
suasana teror di tengah-tengah masyarakat. * (hal 79 hukum ham)
Delik formil lainnya, yang menyangkut suatu
kejahatan yang dilakukan terhadap dan di dalam pesawat udara (in flight) yang
terdapat pada pasal 8 UU no 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana
terorisme
Lebih lanjut , dipertegas dalam perumusan pasal 9
UU no 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme tersebut
adalah :
- Setiap orang (kelompok/korposasi);
- Melawan hukum
- Memasukkan ke Indonesia;
Membuat, menerima, mencoba memperoleh,
menyerahkan atau mencoba menyerahkan,menguasai,membawa,mempunyai (hal 85)
Ada pula delik formil lainnya yang menitik
tekankan pada perbuatan yang dilarang kaitannya dengan tindak pidana terorisme
yang sering disebut sebagai technological
terorism (tindak pidana terorisme yang dalam perbuatan kejahatannya
menggunakan teknologi.[3]
Menurut Roeslan Saleh* yang dimaksudkan dengan
tindak pidana ialah sesuatu yang menyangkut dilarangnya perbuatan/tindakan dan
sedangkan terorisme itu berkaitan dengan tindakan yang dilarang. Dala hal ini,
maka yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme dalam peraturan ini adalah
setiap perbuatan yang dilakukan oleh orang ataupun korporasi yang mengandung
unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 UU no 15 tahun
2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme
Dalam Undang-Undang no 15 tahun 2003 tentang
pemberantasan tindak pidana terorisme , tindak pidana terorisme dapat
dikualifikasikan sebagai berikut :
- Delik materiil yang terdapat dalam Pasal 6;
- Delik Formil yang terdapat dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 12;
- Delik Percobaan
- Delik Pembantuan, dan
- Delik Penyertaan terdapat dalam Pasal 13 dan 15;
- Delik Perencanaan terdapat dalam Pasal 14.
Subyek hukum yang dapat digolongkan sebagai pelaku
tindak pidana terorisme adalah setiap orang, yang didefiniskan sebagai orang,
beberapa orang, atau korporasi dan kelompok tersebut yang terdiri dari orang
sipil atau militer maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual atau
korporasi.
Kualifikasi terhadap pelaku tersebut masing-masing
dalam Undang-Undang no 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme diatur dalam pasal-pasal tersendiri . Pihak –pihak yang termasuk
dalam pelaku tindak pidana dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme tersebut, seperti terdapat dalam pasal 55 dan 56 KUHP , yaitu yang
melakukan perbuatan (plegen,dader) , yang menyuruh melakukan perbuatan (doen
plegen), middelijke dader) yang turut melakukan perbuatan (medeplegen, mededer)
yang membujuk supaya perbuatan dilakukan (uitlokken, uitlokker) , yang membantu
perbuatan (medeplichtig zijn, medeplichtige).Dalam Undang-undang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme Pasal 13 , bahwasannya seseorang yamg memberikan
“bantuan” atau biasa disebut dengan yang membantu perbuatan adalah tindakan
yang memeberikan bantuan baik sebelum dilakukan tindak pidana terorisme maupun
pada saat tindak pidana terorisem maupun pada saat tindak pidana terorisme
tersebut dilakukan.
Kegiatan pendanaan dalam setiap aksi terorisme
merupakan tulang punggung utama dari kegiatan tersebut . Masalah pendanaan
terkait erat dengan tindak pidana pencucian uang yang diatur dalam
Undang-Undang no 15 tahun 2002 . Dalam Pasal ini disebutkan pendanaan. Dan
dalam hal pendanaan ini biasanya dalam kegiatan memakai uang hasil money
laundring. Seperti kegiatan terorisme yang dilakukan oleh kelompok Al-Qaeda ,
mereka menggunakan uang hasil penjualan opium yang banyak ditanam di negara
tersebut. Pasal di atas bersumber secara murni dari hukum nasional maupun
konvensi Internasional berkaitan dengan Convention on the Suppression of
Financing Terrorism (1999) yang telah diratifikasi.
(NG)
terima kasih sangat membntu
BalasHapus