Kamis, Februari 02, 2012

teroris (catatan)


B. Pengaturan Terorisme Menurut Hukum Positif Indonesia
Dalam Perpu no 1 Tahun 2002 yang telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang dijadikan sebagai dasar hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme sebagai berikut : tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini (Pasal 1 ayat (1)) .
Pasal 1 ayat (1) dalam Undang-Undang No 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme tersebut, rumusannya sama dengan yang ada dalam draft rancangan UU tentang Tindak Pidana Terorisme . 

Sedangkan yang termasuk unsur-unsur terorisme adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara dengan membahayakan bagi kedaulatan bangsa dan negara yang dilakukan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain , atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang startegis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.[1]

Kekerasan yang dilakukan oleh kelompok teroris, merupakan tindak pidana terorisme. Tindak pidana terorisme tersebut di atas terdapat dalam rumusan Pasal 6 dan 7 UU No 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Dapat disimpulkan , bahwa suatu kelompok dapat dikatakan sebagai kelompok teroris apabila memenuhi unsur-unsur[2] :
  • Mengeksploitasi kelemahan manusia secara sistematik, yaitu kengerian atau ketakutan yang melumpuhkan.
  • Adanya penggunaan ancaman atau penggunaan kekerasan fisik;
  • Adanya tujuan politik yang ingin dicapai;
  • Adanya sasaran yang umumnya masyarakat sipil;dan
  • Dilakukannya perencanaan dan persiapan secara rasional

Tindak pidana terorisme yang dirumuskan dalam pasal 6 UU no 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme , dapat dikualifikasikan kedalam delik materil , sedangkan yang mengenai delik formil tindak pidana terorisme terdapat dalam Pasal 7 sampai dengan pasal 12 UU no 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme
Perbuatan yang dilarang dan dikategorikan sebagai kegiatan terorisme adalah bermaksud untuk melakukan perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan di mana perbuatan tersebut dapat menimbulkan suasana teror di tengah-tengah masyarakat. * (hal 79 hukum ham)

Delik formil lainnya, yang menyangkut suatu kejahatan yang dilakukan terhadap dan di dalam pesawat udara (in flight) yang terdapat pada pasal 8 UU no 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme

Lebih lanjut , dipertegas dalam perumusan pasal 9 UU no 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme tersebut adalah :
  1. Setiap orang (kelompok/korposasi);
  2. Melawan hukum
  3. Memasukkan ke Indonesia;
Membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan,menguasai,membawa,mempunyai (hal 85)

Ada pula delik formil lainnya yang menitik tekankan pada perbuatan yang dilarang kaitannya dengan tindak pidana terorisme yang sering disebut sebagai technological terorism (tindak pidana terorisme yang dalam perbuatan kejahatannya menggunakan teknologi.[3]

Menurut Roeslan Saleh* yang dimaksudkan dengan tindak pidana ialah sesuatu yang menyangkut dilarangnya perbuatan/tindakan dan sedangkan terorisme itu berkaitan dengan tindakan yang dilarang. Dala hal ini, maka yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme dalam peraturan ini adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh orang ataupun korporasi yang mengandung unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 UU no 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme

Dalam Undang-Undang no 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme , tindak pidana terorisme dapat dikualifikasikan sebagai berikut :
  1. Delik materiil yang terdapat dalam Pasal 6;
  2. Delik Formil yang terdapat dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 12;
  3. Delik Percobaan
  4. Delik Pembantuan, dan
  5. Delik Penyertaan terdapat dalam Pasal 13 dan 15;
  6. Delik Perencanaan terdapat dalam Pasal 14.

Subyek hukum yang dapat digolongkan sebagai pelaku tindak pidana terorisme adalah setiap orang, yang didefiniskan sebagai orang, beberapa orang, atau korporasi dan kelompok tersebut yang terdiri dari orang sipil atau militer maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual atau korporasi.
Kualifikasi terhadap pelaku tersebut masing-masing dalam Undang-Undang no 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme diatur dalam pasal-pasal tersendiri . Pihak –pihak yang termasuk dalam pelaku tindak pidana dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut, seperti terdapat dalam pasal 55 dan 56 KUHP , yaitu yang melakukan perbuatan (plegen,dader) , yang menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen), middelijke dader) yang turut melakukan perbuatan (medeplegen, mededer) yang membujuk supaya perbuatan dilakukan (uitlokken, uitlokker) , yang membantu perbuatan (medeplichtig zijn, medeplichtige).Dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 13 , bahwasannya seseorang yamg memberikan “bantuan” atau biasa disebut dengan yang membantu perbuatan adalah tindakan yang memeberikan bantuan baik sebelum dilakukan tindak pidana terorisme maupun pada saat tindak pidana terorisem maupun pada saat tindak pidana terorisme tersebut dilakukan.
Kegiatan pendanaan dalam setiap aksi terorisme merupakan tulang punggung utama dari kegiatan tersebut . Masalah pendanaan terkait erat dengan tindak pidana pencucian uang yang diatur dalam Undang-Undang no 15 tahun 2002 . Dalam Pasal ini disebutkan pendanaan. Dan dalam hal pendanaan ini biasanya dalam kegiatan memakai uang hasil money laundring. Seperti kegiatan terorisme yang dilakukan oleh kelompok Al-Qaeda , mereka menggunakan uang hasil penjualan opium yang banyak ditanam di negara tersebut. Pasal di atas bersumber secara murni dari hukum nasional maupun konvensi Internasional berkaitan dengan Convention on the Suppression of Financing Terrorism (1999) yang telah diratifikasi.

(NG)

[1]  *Pasal 1 ayat (1) UU no 15 tahun 2003
[2]  *Pasal 6 dan Pasal 7 UU no 15 tahun 2003
[3] *Pasal 10 UU no 15 tahun 2003

1 komentar: